Taufik Monyong

Seorang Budayawan

Feature

Guruku Bukan Guru

Ada kebahagiaan tersendiri ketika bisa meluangkan waktu bersama anak-anak kecil dan mengajari mereka banyak hal agar mereka terus mengejar mimpi dan tidak berhenti berusaha mewujudkannya.

Ketika terkadang otak dan pemikiran manusia dewasa telah terutup aturan dan norma yang membelenggu manusia untuk tidak melakukan apa-apa, pemikiran anak kecil terkadang dapat membuka mata kita untuk lebih berani bertindak daripada tidak berusaha sama sekali.

Terima kasih, untuk mas Fajar dan SD Pembangunan Jaya dengan mengundang saya sebagai narasumber dalam acara Guruku bukan Guru dan menjadikan acara tersebut sebagai momentum pembelajaran untuk saya pribadi betapa sebenarnya mendidik bukanlah hal yang mudah.

Terima kasih.



Gayus dan 7 Balon

Protes kami kepada pemerintah yang sebenarnya harus mampu menegakkan hukum sebagai sebuah komitmen pemerintah dan sekaligus presiden sebagai penanggung jawab atas tegaknya hukum itu sendiri maka sepantasnya pemerintah bersikap lebih tegas dalam penegakan hukum di Indonesia.




Kami, selaku seniman meragukan banyak hal atas jargon-jargon politik yang dilakukan oleh pemerintah dalam setiap kampanye yang dilakukan oleh para politisi yang membohongi rakyat. Pemerintah yang bohong seharusnya diberikan sanksi atas ketidak tegasan dalam penegakan hukum.

Apa itu?

Sanksi yang tepat untuk diberikan kepada pemerintah adalah copot jabatan sebagai pemangku dan pelaksana pemerintahan itu sendiri. Maka dengan performance ini sebagai suatu bentuk gambaran kekecewaan atas kebohongan yang dilakukan oleh pemerintah.

Taufik Monyong to be President.

Virus Perubahan Peradaban

Gerakan kesenian di Surabaya mulai mendapat apresiasi dari segala aspek massa, baik oleh pemerintah maupun masyarakat yang meliputi Apresiator, Kolektor, Kurator dan banyak komponen masyarakat yang akan terlibat dalam penyelesaian persoalan kesenian tersebut. Serta sebuah upaya untuk mengajak seluruh masyarakat di Surabaya terutama seniman lukis atau perupa untuk melakukan apresiasi seni dan membangkitkan kota Suarabaya menjadi kota seni setelah ibu kota Jakarta. Namun, gagasan ini tidak berakhir begitu saja, akan tetapi seharusnya mampu merubah iklim kebudayaan yang akan mereka lakukan yaitu suasana kesenian yang jelas membawa ruang kesenian sebagai virus perubahan peradaban masyarakat.


terima kasih kepada para penikmat seni

Maka dengan kesadaran individu tersebut, saya seolah memiliki tanggung jawab besar untuk menyebarkan virus-virus positif tersebut kepada semua sudut ruang masyarakat untuk melakukan sebuah perubahan, setidaknya perubahan dalam pemikiran keseharian. Dan pameran ini saya tujukan untuk mereka yang masih tertidur dalam mimpinya, menyadarkan dan mengajak mereka melakukan seuatu yang tidak mungkin terjadi untuk menjadikannya ada.
Pameran tunggal ini dilakukan dalam upaya memperkaya karya dan aktifitas seni yang memberikan gambaran kondisi kekinian yang terjadi di kota Surabaya, Indonesia, bahkan Dunia. Berupaya membawa pesan Nasional dan Internasional untuk mempengaruhi manusia agar tidak terjebak dalam satu situasi bersifat politik, ekonomi, hukum dan kebudayaan namun lebih jauh mebawa ruang perubahan yang besar dan klimaks kebudayaan itu sendiri.


opening ceremony by;
Sekdaprof. Bp. Dr. H. Rasio Msi. feat Taufik Monyong
Pameran Tunggal Seni Rupa 'Virus Perubahan Peradaban' akan mengajak para apresiator serta penggagas seni terlibat melakukan apresiasi secara besar-besaran di kota Surabaya, mengetahui secara detail tentang alam perubahan yang akan terjadi sekian tahun kedepan terhadap perubahan seni yang sebenarnya.

Saya berharap akan terciptanya keadaan yang mencerminkan suatu sikap yang konkret terhadap upaya dan penyelamatan karya seni dan para senimannya untuk melakukan Pameran Seni Rupa yang merupakan bukti kepedulian terhadap kebudayaan dan kesenian akan gairah kehidupan kesenian dengan mulai marak segala aktifitasnya dengan seperangkat keberagamannya.

- by: Taufik Monyong -


photo selengkapnya @ Picasa - Virus Perubahan Peradaban

Jalanan Melawan dengan Vespa “Tetanus”

oleh Diana AV Sasa

Vespa merah hati, salah satu artifak yang dipamerkan oleh Taufik Monyong di Orasis Art Gallery, Surabaya. foto: sogeahmad/dianaSEPULUH tahun lalu, kami mengenalnya sebagai lelaki rombeng berpeci miring dengan baju tahanan Polwiltabes Surabaya bernomor 028—yang di kemudian hari saya tahu baju itu menjadi saksi sejarah bahwa ia pernah dituduh sebagai provokator demonstrasi buruh Maspion. Ia menenteng megaphone warna merah dan berteriak menonjok-nonjok di tengah lapangan. Taufik Hidayat yang kerap dipanggil Monyong itu seperti macan podium di kampus kami, Universitas Negeri Surabaya (UNESA).

Ia selalu muncul di setiap panggung kampus dengan suara lantang dan berondongan kata-kata dari mulutnya yang sulit dibendung. Kala mimbar bebas digelar, ia bicara dengan kritis dan pedas. Dalam aksi demonstrasi, tangan kanannya selalu mencekau batang megaphone. Ia tak gentar meski kuliahnya terancam surat drop out. Ia terus menyulut kompor hingga kami menaiki lagi mimbar bebas, menggelar lagi happening art, dan berbaris lagi dalam himpunan demonstrasi.

Demonstrasi, aksi turun jalan, adalah ruang di mana Taufik belajar menempa diri. Sebagai mahasiswa jurusan Senirupa, ia menjadikan ruang ini sebagai ruang berkarya. Bagi Taufik, tak ada demonstrasi tanpa sentuhan aksi teatrikal (yang disebutnya street performance itu). Ada saja idenya. Mulai telanjang hanya berbalut lumpur untuk mengkritik kampus yang seperti sawah, hingga membakar toga saat upacara wisuda.

Semasa itu, street performance Taufik adalah alamat bagi kami bahwa hari itu akan banyak kelas dikosongkan paksa. Dan tak lama kemudian, selebaran-selebaran menyebar dari tangan ke tangan disusul teriakan membakar semangat. Poster-poster pun dibentangkan. Dan wassalam saja dengan perkuliahan. Dosen-dosen yang tetap mengajar akan angkat tangan ketika pintu kelas digedor dan mahasiswanya digiring keluar kelas. Sebab Taufik memanggil-manggil dengan suaranya yang keras dan sengak di telinga: “Ayo kawan… penuhi jalan raya! Sampai kita bertemu di sana, di pintu Rektorat. Kawan semua… kini saatnya serbu rektorat…!!!”

Sepuluh tahun berlalu, Taufik telah berkelana dengan menjajal politik praktis, merambah dunia bisnis, akan tetapi langkahnya terhenti pada pilihan untuk berkesenian. Tak ingin terpacak di dinding galeri, aksi turun jalan tetaplah menjadi ruang berkarya yang paling mantap di hatinya.

Selama dua tahun terakhir ia terlibat puluhan aksi. Mulai mengantarkan pendaftaran gugatan pencalegan M. Sholeh (eks Partai Rakyat Demokrat, PRD) yang digugurkan Partai PDI Perjuangan, mengawal korban kasus Bank Century, membela kasus pajak perusahaan-perusahaan di kompleks industri SIER, hingga mendampingi rencana penggusuran 11 pasar di Surabaya beberapa hari lalu.

Tak hanya demonstrasi, ia juga melakukan aksi performance-nya pada peluncuran buku, Lisa Febriyanti, Iluminasi, hingga bedah buku Menyulut Lahan Kering Perlawanan, a tribute to Andi Munajat- dimana ia membaca kitab besar yang membopongnya dengan dua tangan pun ia tak akan tahan lebih dari lima menit. Akhir 2009, ia terlibat proyek Surabaya Juang dalam rangka hari pahlawan dan menampilkan 100 patung manusia sebagai make up performance di beberapa titik kota Surabaya.

Kini, dengan vespa ia melontarkan lagi pemberontakan jalanannya dengan mengusung tajuk Street Rebell; sebuah pameran tunggal 8 instalasi vespa dan 20 lukisan Vespa di lantai 3 Orasis Art Gallery Surabaya sepanjang April (9-30 April) 2010 lalu. Pilihan tema itu bukanlah refleksi hampa sejarah. Perjalanan berkeseniannya menjejak dengan jelas di ruas ini.

Vespa adalah kendaraan yang paling merdeka. Setidaknya itu menurut Taufik. Meski tua, berkesan kuno, ketinggalan zaman, gembel, kelas bawah, namun vespa menyimpan ruh pemberontakan jalanan. Vespa, mungkin satu-satunya kendaraan tanpa kelengkapan standar lalu lintas namun bebas melaju di jalanan. Bila sedang melaju dijalan raya, vespa-vespa tak beraturan itu demikian merdeka. Polisi tak berani menghentikan, pengguna jalan lain pun memilih menghindar untuk berdekatan karena takut keserimpet “tetanus”.

Dan yang dipilih Taufik adalah vespa modifikasi yang sudah nyaris kehilangan rupa aslinya. Ia pancangkan baut, kawat, cerobong, paku, hingga jeruji besi runcing di sekujur tubuhnya. Ide Taufik memang bukan orisinil, Komunitas vespa gembel sudah lama menyisip di antara ceruk kota-kota di Indonesia. Komunitas ini sengaja tidak mencuci vespanya berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Tampilannya dekil karena penggemarnya kerap menempelkan aneka ”sampah” di vespa mereka, mulai dari kaleng bekas, botol plastik, karung goni, botol infus, baju, drum bekas, sandal jepit, CD, selongsong mortir, boneka, hingga tengkorak sapi.

Kebanyakan penggemar vespa gembel berasal dari kelompok kelas bawah. Mereka umumnya pengangguran, mahasiswa, pekerja kasar atau buruh serabutan. Kelas masyarakat ini kerap kali terpinggirkan dan menjadi kelompok marjinal. Maka dengan kegembelan vespanya, mereka merebut perhatian di jalan raya dari kilau kendaraan mewah. Mereka memberontak pada parade kemewahan di sekitarnya yang begitu asing bagi diri mereka. Pemberontakan yang mereka usung memang bukan sebuah gerakan yang riuh, namun dalam laju kecilnya, mereka menghimpun semangat perlawanan.

Semangat inilah yang coba diusung Taufik. Dan ia berani mengatakan bahwa vespa rombeng itu adalah seni dan ia layak duduk sama tinggi dengan seni adiluhung lain dalam ruang pamer.

Vespa rombeng yang ‘dirusak’ Taufik dari wajah aslinya bukanlah semata modifikasi otomotif. Pilihan Taufik dalam materi dan bentuk obyek menyuarakan sebuah kritik akan kondisi sosial di sekitarnya.

Vespa dengan moncong yang penuh cerobong dari seng misalnya, seolah menyuarakan protesnya pada laju industrialisasi yang makin menyudutkan ruang-ruang ekologi hingga alam kehilangan kearifan. Vespa merah putih yang setengah tubuhnya ia tubrukkan ke tembok adalah upaya Taufik untuk menyeru betapa bangsa Indonesia telah kehilangan nyaris separuh kepribadiannya dan bertekuk punggung pada budaya asing. Maka vespa ‘raja jalanan’ itu Taufik Moyong menahbiskan pemberontakan kaum kere di jalan raya.

Jalan, bagi Taufik bukan semata selasar di mana roda kendaraan melaju. Benturan kepentingan di jalanan adalah sebuah miniatur kehidupan yang sesungguhnya. Di jalanan inilah hadir harga diri, tata krama, ancaman, muslihat, budi baik, dan kejahatan. Jalanan adalah sebuah gelanggang pertarungan politik, ekonomi, dan budaya antara kepentingan pemerintah dengan kebutuhan rakyat. Pemerintah membuat peraturan untuk menciptakan ketertiban demi kenyamanan pemilik modal. Sementara rakyat menggunakan jalanan sebagai ladang penghidupan berebut rejeki sekadar untuk bertahan hidup.


Street Rebel,

Pemberontakan Skuter Taufik Monyong

Di tangan Taufik Monyong, 35 tahun, tujuh skuter rongsokan bisa menjadi media pembrontakan yang efektif. Perupa bernama asli Taufik Hidayat itu mengkreasi bangkai skuter dengan berbagai cara, sehingga seolah-olah penuh luka. Misalnya, dia merusak seluruh bodi vespa butut itu dengan coblosan jeruji besi, baut serta sebatang besi runcing.

Ada pula skuter reot yang harus dimuati tong besar, sehingga kendaraan kaum menengah ke bawah itu makin terlihat tertatih-tatih. Itulah karya seni Taufik yang dipamerkan di Gallery Orasis, Jalan HR Muhammad, Surabaya. Pameran yang dibuka Walikota Surabaya Bambang Dwi Hartono pada Jumat malam kemarin itu akan berlangsung hingga 30 April mendatang.

Street Rebel, itulah tema performing art yang diusung Taufik. Selain menggeber seni instalasi, Taufik, alumnus Universitas Negeri Surabaya, juga memajang puluhan lukisannya sendiri. Sama dengan performing art yang dia tampilkan, tema lukisan Taufik seluruhnya bersiksar soal skuter.

Menurut Taufik, vespa adalah simbol kemerdekaan. Alasannya, kata dia, skuter adalah satu-satunya kendaraan yang jarang disemprit polisi ataupun diembat pencuri. Dengan media skuter, Taufik ingin memberontak dan keluar dari belenggu kehidupan yang menghimpit. "Hidup ini penuh dengan jebakan, dengan media skuter saya ajak masyarakat tidak terjebak ke dalam killing groud," katanya.

Performing art dengan merusak benda-benda seperti skuter, boleh dibilang masih asing di Indonesia, khususnya di Surabaya. Tapi di kota-kota besar mancanegara, karya seni yang demikian itu sudah menjadi suatu hal yang biasa. "Ini gerakan kesenian," ujar Taufik.

Perupa Agus "Koecink" Sukamto masih melihat Taufik sebagai seniman muda yang jiwanya meledak-ledak. Karakter "berangasan" itu, kata Agus, tak lepas dari jiwa demonstran yang dimiliki Taufik. Sebab, pada 1998 Taufik adalah salah seorang demonstran terkenal di Surabaya. Dalam berunjukrasa, Taufik tak melulu mengerahkan massa tapi juga seorang diri. "Tubuh Taufik selalu bergerak bila ada sesuatu yang menindas," kata Agus menjelaskan.

Vespa Dan Seni Jalanan Taufik Monyong

Oleh : Agus (Koecink) Sukamto (Perupa, Pemerhati Seni Rupa)

Kalau menghubungkan keduanya memang aneh tetapi itulah realitas yang ada. Sosok Monyong panggilan sehari-hari merupakan salah satu seniman yang nyentrik. Bergerak terus dari zaman orba sampai sekarang. Siapa yang dibela dan dilawan semuanya nampak sebagai perjuangan dalam perjalanan hidupnya. Lalu apa hubungan dia dengan seni?, seni telah menyatu dengan kehidupan jalanan maka banyak orang menyebut dia sosok demontran yang kreatif. Berdemo dengan bahasa seni rupa.apapun yang dipakai membuat khalayak heran apakah dia seniman atau demontran, dan aktivis pergerakan.

Dengan latar belakang pendidikan seni rupa yang diperoleh di kampus IKIP Surabaya saat itu. Monyong berpidato dijalanan pada saat menjelang jatuhnya kekuasaan Orba, seperti layaknya seorang presiden dengan suaranya yang tak henti-hentinya memprovokasi massa bergerak dari satu jalanan ke jalanan yang lainnya. Ya itulah awal dari seni pertunjukan jalanannya.Seni rupa menjadi media untuk memperlihatkan siapa yang tidak membela rakyat dengan cara membuat performance art jalanan. Berbagai aksi, antraksi, dan seni menjadi satu guna mengingatkan penguasa yang lengah dalam menjalankan tugasnya.Mengapa Vespa menjadi perangkat untuk menguasai jalanan.Menurutnya Vespa multiperan, bisa sebagai media iklan, orasi, pertunjukan. Peran vespa monyong bisa menjadi media iklan dengan membuat tulisan, dan membawa Banner juga lukisan. Vespa adalah jiwa, keringat, dan darah yang menyatu dengan kehidupan jalanan monyong.

Vespa menjadi menjadi ide penciptaan karya yang kemudian dieksplorasi sedemikian rupa. Karya yang terakhir menunjukan bagaimana vespa monyong tidak hanya menjadikan media tetapi menjadi juga inspirasi dalam penciptaan karya baik tiga dimensi maupun dua dimensi. Begitulah seniman kalau sedang banyak inspirasi apapun bisa menjadi karya seni.Suatu saat pada pertemuan perforamance art yang dihadiri 5 negara di CCCL (Pusat Kebudayaan Perancis),Monyong beraksi dengan berpidato didepan kantor tersebut dengan hanya menggunakan celana dalam, vespa kesayangannya diparkir ditepi dengan bendera merah putih selalu ada dalam setiap aksi pertunjukannya. Ketika Pembukaan Biennale Jatim III 2009,vespa menjadi corong dan salah satu karya performance artnya.

Pada pameran kali ini, vespa-vespa itu dirusak sedemikian menjadi bentuk-bentuk seni dalam konteks kekinian. Ada yang diberi kawat,benda seperti corong, tameng,pedang, tong,dan sebagainya.Vespa ibarat tubuhnya yang selalu menerima beban untuk dijadikan media menyuarakan suara kaum yang lemah dan tertindas. Tetapi bisa sebaliknya vespa bisa berarti sesuatu yang kuat yang terus bergerak bagaikan tubuh Taufik sendiri yang selalu bergerak ketika ada satu kekuatan yang menindas. Semangat berkeseniannya menggelora seperti saat ia berpidato menyulut para pendemo untuk terus bergerak menumbangkan rejim Orde Baru. Kini Taufik berjalan sendiri dijalanan dengan pertunjukan-pertunjukan seninya yang orang terkadang menjadi bingung apakah itu seni atau demo?

Jalanan menjadi media untuk menyalurkan, menjadi inspirasi, dan menciptakan karya seni. Dijalanan pula hidupnya akan terus berjalan ditengah derunya roda-roda yang berjalan saling berebut untuk menuju suatu tempat. Kehidupan Monyong dan Kehidupan jalanan saling bertautan, kerasnya kehidupan jalanan juga mewarnai kerasnya karya-karya yang ditampilkan kali ini. Vespa-vespa yang telah berpindah diatas kanvas, dengan warna-warna merah,kuning,hijau menampakan emosi dari Taufik yang terus menggelora.

Ayo Bung Terus Bergerak...!

 
© Taufik Monyong
Designed by BlogThietKe Cooperated with Duy Pham
Released under Creative Commons 3.0 CC BY-NC 3.0
Posts RSSComments RSS
Back to top