Seorang Budayawan

Jalanan Melawan dengan Vespa “Tetanus”

oleh Diana AV Sasa

Vespa merah hati, salah satu artifak yang dipamerkan oleh Taufik Monyong di Orasis Art Gallery, Surabaya. foto: sogeahmad/dianaSEPULUH tahun lalu, kami mengenalnya sebagai lelaki rombeng berpeci miring dengan baju tahanan Polwiltabes Surabaya bernomor 028—yang di kemudian hari saya tahu baju itu menjadi saksi sejarah bahwa ia pernah dituduh sebagai provokator demonstrasi buruh Maspion. Ia menenteng megaphone warna merah dan berteriak menonjok-nonjok di tengah lapangan. Taufik Hidayat yang kerap dipanggil Monyong itu seperti macan podium di kampus kami, Universitas Negeri Surabaya (UNESA).

Ia selalu muncul di setiap panggung kampus dengan suara lantang dan berondongan kata-kata dari mulutnya yang sulit dibendung. Kala mimbar bebas digelar, ia bicara dengan kritis dan pedas. Dalam aksi demonstrasi, tangan kanannya selalu mencekau batang megaphone. Ia tak gentar meski kuliahnya terancam surat drop out. Ia terus menyulut kompor hingga kami menaiki lagi mimbar bebas, menggelar lagi happening art, dan berbaris lagi dalam himpunan demonstrasi.

Demonstrasi, aksi turun jalan, adalah ruang di mana Taufik belajar menempa diri. Sebagai mahasiswa jurusan Senirupa, ia menjadikan ruang ini sebagai ruang berkarya. Bagi Taufik, tak ada demonstrasi tanpa sentuhan aksi teatrikal (yang disebutnya street performance itu). Ada saja idenya. Mulai telanjang hanya berbalut lumpur untuk mengkritik kampus yang seperti sawah, hingga membakar toga saat upacara wisuda.

Semasa itu, street performance Taufik adalah alamat bagi kami bahwa hari itu akan banyak kelas dikosongkan paksa. Dan tak lama kemudian, selebaran-selebaran menyebar dari tangan ke tangan disusul teriakan membakar semangat. Poster-poster pun dibentangkan. Dan wassalam saja dengan perkuliahan. Dosen-dosen yang tetap mengajar akan angkat tangan ketika pintu kelas digedor dan mahasiswanya digiring keluar kelas. Sebab Taufik memanggil-manggil dengan suaranya yang keras dan sengak di telinga: “Ayo kawan… penuhi jalan raya! Sampai kita bertemu di sana, di pintu Rektorat. Kawan semua… kini saatnya serbu rektorat…!!!”

Sepuluh tahun berlalu, Taufik telah berkelana dengan menjajal politik praktis, merambah dunia bisnis, akan tetapi langkahnya terhenti pada pilihan untuk berkesenian. Tak ingin terpacak di dinding galeri, aksi turun jalan tetaplah menjadi ruang berkarya yang paling mantap di hatinya.

Selama dua tahun terakhir ia terlibat puluhan aksi. Mulai mengantarkan pendaftaran gugatan pencalegan M. Sholeh (eks Partai Rakyat Demokrat, PRD) yang digugurkan Partai PDI Perjuangan, mengawal korban kasus Bank Century, membela kasus pajak perusahaan-perusahaan di kompleks industri SIER, hingga mendampingi rencana penggusuran 11 pasar di Surabaya beberapa hari lalu.

Tak hanya demonstrasi, ia juga melakukan aksi performance-nya pada peluncuran buku, Lisa Febriyanti, Iluminasi, hingga bedah buku Menyulut Lahan Kering Perlawanan, a tribute to Andi Munajat- dimana ia membaca kitab besar yang membopongnya dengan dua tangan pun ia tak akan tahan lebih dari lima menit. Akhir 2009, ia terlibat proyek Surabaya Juang dalam rangka hari pahlawan dan menampilkan 100 patung manusia sebagai make up performance di beberapa titik kota Surabaya.

Kini, dengan vespa ia melontarkan lagi pemberontakan jalanannya dengan mengusung tajuk Street Rebell; sebuah pameran tunggal 8 instalasi vespa dan 20 lukisan Vespa di lantai 3 Orasis Art Gallery Surabaya sepanjang April (9-30 April) 2010 lalu. Pilihan tema itu bukanlah refleksi hampa sejarah. Perjalanan berkeseniannya menjejak dengan jelas di ruas ini.

Vespa adalah kendaraan yang paling merdeka. Setidaknya itu menurut Taufik. Meski tua, berkesan kuno, ketinggalan zaman, gembel, kelas bawah, namun vespa menyimpan ruh pemberontakan jalanan. Vespa, mungkin satu-satunya kendaraan tanpa kelengkapan standar lalu lintas namun bebas melaju di jalanan. Bila sedang melaju dijalan raya, vespa-vespa tak beraturan itu demikian merdeka. Polisi tak berani menghentikan, pengguna jalan lain pun memilih menghindar untuk berdekatan karena takut keserimpet “tetanus”.

Dan yang dipilih Taufik adalah vespa modifikasi yang sudah nyaris kehilangan rupa aslinya. Ia pancangkan baut, kawat, cerobong, paku, hingga jeruji besi runcing di sekujur tubuhnya. Ide Taufik memang bukan orisinil, Komunitas vespa gembel sudah lama menyisip di antara ceruk kota-kota di Indonesia. Komunitas ini sengaja tidak mencuci vespanya berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Tampilannya dekil karena penggemarnya kerap menempelkan aneka ”sampah” di vespa mereka, mulai dari kaleng bekas, botol plastik, karung goni, botol infus, baju, drum bekas, sandal jepit, CD, selongsong mortir, boneka, hingga tengkorak sapi.

Kebanyakan penggemar vespa gembel berasal dari kelompok kelas bawah. Mereka umumnya pengangguran, mahasiswa, pekerja kasar atau buruh serabutan. Kelas masyarakat ini kerap kali terpinggirkan dan menjadi kelompok marjinal. Maka dengan kegembelan vespanya, mereka merebut perhatian di jalan raya dari kilau kendaraan mewah. Mereka memberontak pada parade kemewahan di sekitarnya yang begitu asing bagi diri mereka. Pemberontakan yang mereka usung memang bukan sebuah gerakan yang riuh, namun dalam laju kecilnya, mereka menghimpun semangat perlawanan.

Semangat inilah yang coba diusung Taufik. Dan ia berani mengatakan bahwa vespa rombeng itu adalah seni dan ia layak duduk sama tinggi dengan seni adiluhung lain dalam ruang pamer.

Vespa rombeng yang ‘dirusak’ Taufik dari wajah aslinya bukanlah semata modifikasi otomotif. Pilihan Taufik dalam materi dan bentuk obyek menyuarakan sebuah kritik akan kondisi sosial di sekitarnya.

Vespa dengan moncong yang penuh cerobong dari seng misalnya, seolah menyuarakan protesnya pada laju industrialisasi yang makin menyudutkan ruang-ruang ekologi hingga alam kehilangan kearifan. Vespa merah putih yang setengah tubuhnya ia tubrukkan ke tembok adalah upaya Taufik untuk menyeru betapa bangsa Indonesia telah kehilangan nyaris separuh kepribadiannya dan bertekuk punggung pada budaya asing. Maka vespa ‘raja jalanan’ itu Taufik Moyong menahbiskan pemberontakan kaum kere di jalan raya.

Jalan, bagi Taufik bukan semata selasar di mana roda kendaraan melaju. Benturan kepentingan di jalanan adalah sebuah miniatur kehidupan yang sesungguhnya. Di jalanan inilah hadir harga diri, tata krama, ancaman, muslihat, budi baik, dan kejahatan. Jalanan adalah sebuah gelanggang pertarungan politik, ekonomi, dan budaya antara kepentingan pemerintah dengan kebutuhan rakyat. Pemerintah membuat peraturan untuk menciptakan ketertiban demi kenyamanan pemilik modal. Sementara rakyat menggunakan jalanan sebagai ladang penghidupan berebut rejeki sekadar untuk bertahan hidup.


No comments:

Post a Comment

 
© Taufik Monyong
Designed by BlogThietKe Cooperated with Duy Pham
Released under Creative Commons 3.0 CC BY-NC 3.0
Posts RSSComments RSS
Back to top